Oleh: Ahmad Rifai Pasra
Kabarpadangpanjang.com
Prof. Buya Hamka menyebutnya manusia yang lahir belum waktunya. Sedangkan teman-teman mahasiswa di Mesir menyebutnya sebagai Failasuf Muda. Panggilan ini tentu bukan sembarangan panggilan. Ada banyak fakta yang membuktikan siapa sesungguhnya beliau.
Dilahirkan di Bukit Surungan, Padang Panjang pada tanggal 12 Radjab 1308 H (1890 M), dari pasangan ulama ternama, Syekh Muhammad Yunus Al Khalidy, bermazhab Tariqhat Naqsabadiyah dengan ibu Rafi’ah. Dirinya adalah kakak sulung dari pendiri Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, yakni Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah.
Rasa keingintahuannya terhadap hal-hal baru sangatlah tinggi. Beliau belajar bertukang di rumah menjadi hobinya. Kemudian mempreteli jam dinding dan mesin jahit ibunya untuk kemudian dipasang kembali seperti sedia kala. Kalau ibunya ke pasar, ia minta dibelikan surat-surat kabar dan koran bekas untuk dibacanya sampai habis, kemudian disimpan baik-baik.
Sekolah Gubernemen hanya sempat didudukinya sampai kelas IV, karena tidak suka dengan cara mengajar gurunya. Sejak saat itu dia tidak bersekolah lagi. Adapun ilmu agama dipelajari langsung dari ayahnya yang memang pernah menuntut ilmu di Makkah Al Mukarromah selama empat tahun.
Punya minat belajar setelah sempat terhenti selama dua tahun. Dipilihlah Maninjau, karena dia mendengar ada ulama ternama yang bernama Haji Abdul Karim Amrullah (Ayah Buya Hamka) yang mengelar pengajian di sana. Lantaran letak negeri itu jauh, diurungkan niatnya. Ia beralih ke Padang, untuk menuntut ilmu pada seorang ulama modren kelahiran Padang Panjang, yang bernama Dr. H Abdullah Ahmad, pendiri Adabiah School.
Berselang delapan hari menetap di Padang, ia pulang kembali. Uang yang diberikan ibunya, habis dibelikan kepada buku-buku, majalah-majalah berbahasa Inggris dan koran-koran berbahasa asing. Orang tidak mengerti untuk apa baginya koran-koran dan majalah berbahasa asing itu.
Kemudian dia berguru kepada ulama besar di Padang Japang, Payakumbuh yang bernama Syekh Abbas Abdullah, yang lebih dikenal dengan Inyiak Abbas Padang Japang. Di sana ia pernah pula menjadi guru bantu. Gara-gara idealismenya yang mengajari murid-murid dengan pelajaran yang belum seharusnya diberikan, ia berselisih paham. Akhirnya kembali ke Padang Panjang. Bak cinta ulam pun tiba, saat itu ayah Buya Hamka yang sudah menetap di Padang Panjang dengan pengajian di surau Jembatan Besi, membuka peluang Zainuddin untuk berguru kembali kepada ulama besar yang dahulu pernah diimpikannya. Waktu belajar dengan ayah Buya Hamka, dia juga diperkenankan mengajar di Surau itu.
Dia adalah tipe pembelajar cepat yang otodidak. Tulisan Arab dan latinnya bagus dan teratur. Disamping itu ia mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda dan bahkan dapat pula berbahasa China. Kegemaran lainnya adalah suka berkorespondensi dengan tokoh kebangsaan Mesir, sekalipun tidak pernah bertemu muka. Ini sudah tentu didukung oleh kemampuan bahasa asingnya yang bagus.
Orangnya tidak banyak bicara, namun suka humor. Perawakannya kurus tinggi dan penglihatannya tenang. Cara berpakaiannya parlente, pakai jas dan dasi. Bila pergi mengajar tidak pernah memakai sarung atau kopiah, melainkan pentalon dengan rambut disisir rapi. Ini sebuah cara revolusi berpakaian yang disulit diterima oleh masyarakat kala itu. Tapi dibalik itu, ada niat yang hendak disampaikan, bahwa dirinya perlu mengubah image kalau ummat Islam itu tidak lusuh, kumuh dan berkesan tradisional. Semua ejekan yang dilontarkan orang terhadap revolusi berpakaiannya, diterima dengan lapang dada.
Zainuddin punya gaya mengajar tersendiri. Sebagaimana diungkapkan Buya Hamka, yang mengaku agak bebal dan sering kena hukum dengan guru yang lain. Tiba dengan Tuan Labay (sapaan akrab beliau) punten (nilai)nya selalu bagus. Ada resep khusus bagaimana menyukai pelajaran ilmu nahwu dan sharaf atau pelajaran tarikh untuk murid kelas 1 s. d kelas 4 sekalipun, seperti Hamka yang pernah menjadi murid Diniyyah School, yang didirikan Zainuddin Labay.
Saking luasnya ilmu beliau, diyakini Zainuddin Labay telah banyak sekali memperhatikan sekaligus membaca buku-buku berkenaan dengan ilmu pendidikan dan jiwa anak-anak, sehingga ia lebih disenangi dalam menerangkan pelajaran. Literatur bacaannya juga beragam. Dia amat cenderung mempelajari sejarah kemajuan Islam masa lalu, dan zaman Islam di Spanyol yang dibawa oleh Tariq bin Ziat. Bagaimana Kejayaan dan keruntuhannya. Juga Zaman kecemerlangan Islam di Baghdad dan keruntuhannya. Ia juga doyan dengan pendidikan hukum agama Islam yang bersumber dari buku-buku berbahasa Inggris dan buku bahasa Arab dari Mesir.
Kegemaran Zainuddin dalam hal membaca surat kabar dan buku-buku telah membuka cakrawala dan pandangan hidupnya. Begitu hebat kualitas bahan bacaannya, semua buku-buku agama dipesan sendiri dari Mesir. Yang amat fenomenal baginya adalah buku yang berjudul Masyahidul Mamalik, sebagai sumber pembuka cakrawala berpikir, yang memuat banyak sejarah kerajaan di Eropa, yang amat langka diperoleh di Indonesia.
Selain itu ia juga penulis handal yang pernah ikut menyumbangkan buah pikirannya dalam majalah Al Munir, yang dirintis oleh Abdullah Ahmad dan Syekh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1911 M. Majalah ini memuat artikel yang mempertahankan pendirian kaum muda dan aliran baru dalam Islam. Karena mendapat serangan dari kaum tua, Zainuddin pun mendirikan majalah sendiri dengan nama Al Akhbar, yang isinya mendukung apa yang diperjuangkan Al Munir, Zainuddin langsung menjadi Hoof Redakteur (Pemimpin Redaksi) majalah tersebut dan dibantu oleh Abdul Majid Saidi Sutan.
Karena percetakan yang mencetak majalah Al Munir dan Al Akhbar terbakar pada tahun 1916 M, praktis kedua majalah itu terhenti. Tidak lama berselang, pada tahun 1918 M Zainuddin pun memimpin majalah Al Munir Al Manar yang diterbitkan oleh Sumatera Thawalib, dengan pembantunya adalah seorang pemuda yang bernama Mahmud Yunus, yang dikemudian hari menjadi ulama besar Sumatera Barat.
Perbedaan isi yang mencolok antara majalah Al Munir di Padang dengan Al Munir Al Manar Padang Panjang adalah dari sisi kupasan. Bila Al Munir Padang dalam mengupas soal agama, referensinya terbatas pada satu mazhab semata, yakni Syafii, dan sedikit menurut Mazhab lain. Lain halnya dengan Al Munir-Al Manar, yang mengupas dengan mengajukan jawaban dari semua mazhab. Mereka kuliti, analisa dan dibahas berdasarkan dalil-dalil dari semua mazhab, sebagaimana yang dilakukan di dalam seminar–seminar di Perguruan Tinggi.
Zainuddin pun semakin berani mengemukakan pendapat atau fatwa tentang aliran baru dalam Islam, yang bertentangan dengan fatwa ulama terdahulu. Sebenarnya ia adalah penentang Thariqat Naqsabandiyah. Ini dibuktikan sewaktu ayahnya wafat, seluruh kaumnya dari Pandai Sikat, dan murid ayahnya dari seluruh Minangkabau, yang ingin takziah serta bermalam di kuburan itu, diusirnya. Menurutnya ini melanggar sunnah Rasulullah. Pendapatnya yang keras itu menyebabkan dirinya termasuk kepada empat orang ulama yang difatwakan oleh ulama Makkah sebagai sesat lagi menyesatkan, setelah Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah, dan M. Djamil Djambek.
Dirinya juga mengagumi cita-cita Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh dalam pembaharuan ajaran Islam. Pemikiran Rasyid Ridha juga diselaminya. Kalau dibanding-bandingkan, sebagaimana diulas Hamka dalam sambutan 15 tahun Diniyyah Puteri mengatakan, Zainudin lah orang yang paling banyak membaca dan mengoleksi buku Rasyid Ridha, sehingga alur pikiran Rasyid Ridha mengendap di dalam kepalanya. Disamping itu Ia juga tertarik dengan riwayat Mustafa Kamil dari Mesir yang sering diceritakan ulang kepada muridnya di sekolah. Ia punya banyak skill, seorang pemikir, penulis, dan memiliki kemampuan berbahasa asing dan mengajar.
Karya intelektual yang disumbangkan adalah, Pertama, penulis buku pegangan pertama tingkat Ibtidaiyyah di Minangkabau, dalam bahasa Arab seperti, Durusul Fiqqiyah (1-2), Aqaidud Diniyyah (1-2), Maradi Al Arabiya (1-2) dan sebagainya. Ini dilakukan untuk mengganti buku-buku keluaran Mesir dan Makkah, namun tetap dalam bahasa Arab. Kedua, mendirikan Diniyyah School pada tahun 1916 M dengan konsep sekolah modren. Membuat sistem, kurikulum, dan rapor penilaian seperti proses belajar mengajar di kelas sekarang. Ia sebagai perintis dan perombak cara belajar di surau dari halaqoh, ke cara belajar di kelas. Secara organisatoris tidak ada kaitannya dengan Diniyyah Puteri yang didirikan adiknya. Ketiga, pemuda pertama yang mengarang dan menulis dalam majalah Islam yang membuat geger ulama Makkah. Keempat, pendiri organisasi Persatuan Murid-murid Diniyyah School (PMDS) yang mempunyai cabang di seluruh Minangkabau. Organisasi ini berasaskan Islam.
Usianya singkat, karena ajal membatasi. Ia wafat pada tanggal 10 Juli 1924 M/1342 H. Kendati terbilang muda, dirinya telah menorehkan banyak karya intelektual. Sayangnya, karya itu tenggelam bersamaan tenggelamnya sejarah hidupnya. Karenanya tulisan ini hadir untuk mengulas kembali dan menyambung uraian nostalgia Buya Hamka semasa menjadi muridnya, untuk diinformasikan kepada generasi sekarang, bahwa ada pemikir besar yang mendunia persahabatannya dan hebat kualitas kemampuan berbahasa asingnya, pernah lahir di Padang Panjang. Itulah Zainuddin Labay El Yunusy, Perintis Sekolah Islam Modren Pertama Minangkabau, dan Hamka pun mengakui kecendikiawanannya!.